ESSAY
DAMPAK KONSTRUKTIF DAN DESTRUKTIF DARI ADANYA KEBEBASAN BERAGAMA\
TUGAS INDIVIDU
Diajukan Guna
Memenuhi Tugas Individu
Mata KuliahHukum dan HAM
Disusun Oleh:
Ramlah Icha Vidani
16340109
Dosen Pengampu:
Faiq Tabroni, M.H.
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
Perdebatan dikalangan
masyarakat maupun elit politik selalu ramai membicarakan HAM. Salah satunya
adalah kebebasan beragama. Bagaimana tidak? Kebebasan beragama merupakan bagian
paling vital dalam berbangsa dan bernegara. Yang mana kita, sebagai bangsa Indonesia
juga menganut Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda – beda tetapi tetap satu
jua. Dapat kita lihat sendiri disini, bahwa perbedaan tidak dapat memunafikkan
arti dari Pancasila itu sendiri. Perdebatan hangat yang kerap menjadi
pembahasan di khalayak ramai pun terlihat dengan jelas dalam tubuh BPUPKI yang
tercantum dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama. Menariknya,
persoalan ini tidak pernah tuntas diperdebatkan sejak rapat – rapat BPUPKI
tahun 1945 sampai sekarang.
Rancangan awal yang
termaktub dalam pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: "Negara berdasar
atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya". Rumusan ini kemudian berubah pada rapat PPKI tanggal
18 Agustus 1945 menjadi: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa". Rumusan tersebut menghilangkan tujuh kata, yakni “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“. Rumusan terakhir itulah
yang dipakai dalam konstitusi Indonesia sampai sekarang, tidak mengalami perubahan
meskipun telah empat kali terjadi amandemen
terhadap UUD 1945, yaitu pada tahun-tahun: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Perjalanan sejarah
Indonesia mencatat bahwa tarik ulur kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara bukan hanya berlangsung di lembaga Konstituante tahun 1945 seperti
diuraikan tadi, melainkan berlangsung sepanjang sejarah republik ini, baik
dalam bentuk perjuangan membentuk negara Islam ataupun dalam bentuk perjuangan
mengembalikan atau memasukkan "tujuh kata" Piagam Jakarta ke dalam
konstitusi, seperti dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 di era Reformasi.
Bahkan, ada pula yang mecoba memaksakannya melalui gerakan bersenjata.[1]
Mengulik segala hal
yang berkaitan dengan kebebasan beragama itu sendiri tidak akan pernah
habisnya. Bahkan perihal kebebasan beragama pun juga terdapat dalam Deklarasi
Universal Hak – Hak Asasi Manusia atau yang kerap kita sebut dengan DUHAM.
Membahas mengenai agama perlu diketahui didalam DUHAM, Hak kebebasan
beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak
dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom
(freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable.
Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi
manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam
situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti
perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang
sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable
ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan
dalam situasi yang bagaimanapun. Hal inilah yang kemudian menjadi dorongan bagi
penulis untuk kemudian membahasnya sampai turunan pasal – pasalnya.
Dapat kita lihat
sendiri berdasarkan pasal 18
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia“Setiap orang berhak atas kebebasan
pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama
atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann
dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Turunan :
·
Pasal
18 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Poitik
1.
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran.
2.
Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga
terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya
sesuai dengan pilihannya.
3.
Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau
kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum,
dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau
moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
4.
Negara
Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan
apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama
dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
·
Pasal
20 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Poitik
1.
Segala propaganda untuk perang harus dilarang
oleh hukum
2.
Segala
tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama
yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus
dilarang oleh hukum.
·
Pasal
26 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Poitik
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum
harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan
efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti
ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain,
asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
Pengadopsian Hak kebebasan beragama dalam Regulasi Hukum di
Indonesia
·
Pancasila
sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
·
UUD
RI 1945
Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.** )
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.**)
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.**)
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.** )
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
·
UU RI Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 4
Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 22
(1)Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Adapun dampak konstruktif adanya kebebasan beragama yakni dengan
adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang dispesifikkan untuk mengatur
kebebasan beragama itu sendiri. Beragamnya peraturan perundang-undangan
tersebut berfungsi :[2]
a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya.
b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau
lingkunganya.
c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan antar kelompok
(mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal).
d. Mencegah kelangkaan sumber daya public dari eksploitasi jangka pendek.
e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial.
f. Perluasan akses dan redtribusi sumber daya.
g. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sektor keagamaan.
Dari beberapa dampak konstruktif di atas, dapat kita
tarik juga kesimpulan untuk dampak destruktifnya. Dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang menegaskan pencegahan penyalahgunaan
dan penodaan Agama yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap agama dan
ajarannya bukan pada kebebasan untuk beragama. Secara sepintas jika
diperhatikan rumusan pasal 1 UU No,1 /PNPS/1965:
“setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukankegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu;”
Yang
menjadi pertanyaan mendasar, penafsiran seperti apa dan kegiatan seperti apa
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Maka
dapat diperoleh pemahaman bahwa UU No.1/PNPS/1965 ini memberikan larangan
terhadap pihak atau aliran atau organisasi kepercayaan yang melakukan
penyimpangan pada ajaran pokok agama yang dianut di Indonesia (6 agama yang
diakui menurut Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS./1965). Dengan demikian, maka
kebebasan berpendapat ataupun mengekspresikan kegiatan keagamaan dibatasi.[3]
Dapat kita telisik disini, bahwasanya
maksud pemerintah maupun pemerhati Hak Asasi Manusia negara manapun, bermaksud
untuk terus mencapai tujuan dari kata Hak itu sendiri. Pemerintah yang
berdaulat tidak akan terwujud sebelum rakyatnya itu sendiri berdaulat. Begitu sekiranya
penulis bisa paparkan. Segala hal baik itu berupa peraturan, keputusan maupun
undang – undang itu sendiri tetaplah pada porosnya. Poros demokrasi yang selalu
didengung – dengungkan setiap penjuru dunia manapun. Itu lah yang kemudian
menjadi poros dari adanya hak itu sendiri. Hak bangsa. Hak yang merdeka,
bersatu, berdaulat dan sesuai dengan apa yang memang menjadi arti hak itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
M. Amien Rais. 2002. Islam dan Negara di Indonesia: Mencari
Akhir Pencarian, dalam Umar Basalim,
Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi. Jakarta: Pustakan Indonesia Satu.
Bagir Manan. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Alumni.
Hwian
Christianto. 2013. Arti
Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Bera
[1] M. Amien
Rais, Islam dan Negara di Indonesia:
Mencari Akhir Pencarian, dalam Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi,
Pustakan Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. XV-XVI.
[2]Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta
:Alumni, hlm. 47.
[3]Hwian
Christianto, Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama,
Januari 2013, hlm.15.